Taman margasatwa Ragunan di Pasar
Minggu, Jakarta Selatan selalu dipadati pengunjung yang mengisi liburan. Kebun binatang yang berdiri pada 19 September 1864, semula berlokasi di
Cikini sebelum dipindahkan ke Ragunan pada 1966. Ragunan, menurut sejarawan Belanda F.
de Haan, berasal dari kata wiragunan, merujuk pada gelar wiraguna,
yang dianugerahkan kepada Henrik Lucaszoon Cardeel oleh Sultan Banten Abul Fath
Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, menurut Windoro Adi dalam Batavia
1740, gelar Pangeran Wiraguna diberikan oleh Sultan Abunasar Abdul Qahar
atau Sultan Haji atas jasanya meminta bantuan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC)
untuk melawan dan menyingkirkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Menurut Denys Lombard dalam Nusa
Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, gelar Pangeran Wiraguna
diberikan karena jasa Cardeel memugar berbagai bangunan dan mendirikan bangunan
kecil yang sampai sekarang masih berdiri di samping Masjid Agung Banten.
Bangunan kecil tersebut berupa “rumah meliputi sebuah lantai dasar dan lantai
satu yang indah, berjendela besar; sebuah museum kecil terdapat di dalamnya,”
tulis Lombard.
Laporan wakil VOC di Banten, Caeff,
menyebut Cardeel untuk kali pertama pada Maret 1675. Sebagai tukang batu, dia
menawarkan jasanya ketika kebakaran menimpa Keraton Surosowan atau istana
Sultan Banten. Setelah diislamkan, dia mengabdi kepada Sultan. Cardeel, tulis
Windoro Adi, bukan hanya membangun kembali keraton, namun juga membangun
bendungan dan istana peristirahatan di hulu Ci Banten yang kemudian
dikenal dengan sebutan Bendungan dan Istana Tirtayasa.
Kendati mendapat bujukan dan tawaran
yang baik dari VOC, Cardeel memilih tetap hidup di Banten dan mengabdi kepada
raja yang baru, Sultan Haji. Dia bahkan mengawini salah satu mantan istri
Sultan Ageng Tirtayasa dan tetap bertugas sebagai “penilik pekerjaan besar”.
Setelah Sultan Haji wafat pada 1687,
dia meninggalkan Banten dan berencana pulang ke Negeri Belanda. “Tidak
diketahui apakah dia pernah kembali ke negerinya,” tulis Lombard, “tetapi pada
1695, dia diketahui menetap di Batavia sebagai penduduk biasa (burger)
dan kembali menjadi Nasrani. Dia menjadi kepala wilayah (wijkmeester Blok M)
dan mengusahakan sebuah hutan kecil (Ragunan, red) miliknya di pinggiran
kota.”
Cardeel berkongsi dengan seorang juru
bedah, Philip Gijger, untuk membangun kincir air dan penggergajian di
dekat sungai besar, serta membuat peti untuk keperluan ekspor gula tebu. Pada
1699, pemerintah kotapraja menugasinya memperbaiki beberapa saluran air yang
rusak karena gempa bumi dengan upah 150 ringgit. Sejak 1706, dia berhenti
membuat peti dan beralih memproduksi arang untuk dijual ke pabrik senjata milik
VOC untuk membuat mesiu.
Karena istrinya tinggal di Banten,
Cardeel menikah lagi dengan Anna Stratingh tanpa dikaruniai anak. Merasa
ajalnya semakin dekat, dia mengangkat anak seorang pemuda Indo bernama Lucas,
anak temannya, Hodenpijl, dan membebaskan ibunya, Magdalena, dari status budak.
Menurut Lombard, dalam surat
wasiatnya, Cardeel mewariskan kepada Lucas tiga perempat kekayaannya dan
seperempatnya untuk saudara-saudara perempuannya di tempat kelahirannya di
Steenwijk, Belanda. Cardeel meninggal dunia pada 1711.
sumber: www.historia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar